Jumat, 07 Februari 2014

POLIITIK VERSI NABI

~ Orang Barat lebih melihat ke bumi, orang Timur lebih melihat ke langit ~
Ungkapan diatas, dikutip dari Sayid Muhammad Baqr Ash-Shadr, ini merupakan justifikasi yang memang terjadi pada realita kehidupan saat ini. Orang barat yang tergila-gila dengan konsep imperialisnya, yang menghendaki pemenuhan kepuasan kepada materi sementara orang Islam berpolitik di muka bumi sebagai Khalifah sebagaimana titah dari langit, sehingga bertendensi religius.
Adrian Leftwich, di dalam bukunya What is Politics ? The Activity and Its Study (Oxford and New York, Blackwell, 1984: 64), menjelaskan bahwa politik adalah jantung dari semua kegiatan sosial kolektif, formal mau pun informal, publik dan privat, di dalam semua kelompok-kelompok manusia, lembaga-lembaga dan masyarakat, dari mulai interaksi sosial keluarga sampai interaksi di dalam bangsa dan mau pun lintas bangsa. Yang membedakannya dari interaksi sosial biasa adalah bahwa politik melahirkan kekuasaan yang memperhatikan penciptaan, pendistribusian dan penggunaan sumber-sumber keberadaan sosial manusia. Dengan demikian, politik memunculkan dimensi kekuasaan pengambilan keputusan, kekuasaan atas agenda setting dan kekuasaan atas kontrol pemikiran.
Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai “segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.” Juga dalam arti “kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah).”
Jika politik secara hakiki dipandang sebagai proses interaksi antar elemen di dalam suatu negara atau dunia yang berisikan konflik dan konsensus, maka politik dapat dimaknakan sebagai suatu perjuangan memperebutkan sumber-sumber yang terbatas melalui kekuasaan di tengah-tengah hasrat (desire) atau keinginan manusia yang cenderung tidak terbatas. Dengan begitu, menjadi penting pula membicarakan bagaimana proses-proses serta hasil-hasil pengambilan keputusan kebijakan publik dilakukan, siapa menentukan apa dan mendapatkan apa dan bagaimana proses pengaruh-mempengaruhi di dalam pembuatan kebijakan pendistribusian sumber-sumber yang ada di sebuah negara. Juga membicarakan kepentingan-kepentingan apa saja dan siapa saja yang berkonflik di dalamnya serta apa isi konsensus yang dijadikan patokan hidup bersama, adil kah konsensus itu atau sebaliknya hanya menguntungkan satu atau beberapa golongan tertentu di dalam masyarakat.
Politik tidak identik dengan pemerintahan. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu bagian penting politik adalah pemerintahan.
Politik juga bisa dimaknai sebagai seni mengelola perubahan. Malik bin Nabi memberikan gambaran bahwa politik adalah “aktivitas yang terorganisir dan efektif yang dilakukan oleh umat secara keseluruhan –negara dan masyarakat- yang sejalan dengan ideologi mayoritas rakyatnya, dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan saling bantu antara pemerintah dan individu dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya; agar politik memberikan pengaruhnya yang kongkret pada realitas sosial, yang membawa pada perubahan bingkai kultur dalam sebuah orientasi yang akan menumbuhkan kecerdasan baru secara harmonis”.
Dalam pandangan itu, politik pada akhirnya adalah “penciptaan kultur”;  yang oleh karena itu, dalam pandangan Malik bin Nabi, aktivitas membangun taman di kota Kairo juga berarti aktivitas politik. Zaki Najib Mahmud berpendapat bahwa politik adalah “melihat bagaimana kondisi tempat kita hidup ini mengalami perubahan” atau upaya mengubah realitas sosial. Politik berarti bahwa kita menciptakan perubahan untuk mereka dan kita menjadikan mereka bisa melakukan perubahan tersebut untuk diri mereka sendiri.
Dalam perspektif Aristoteles dan para filosof Yunani pada umumnya, politik dimaknai sebagai segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat.
Imam Syafi’i memberi definisi bahwa politik adalah hal-hal yang bersesuaian dengan syara’. Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu Aqil bahwa politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih menjauhkan dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rasulullah saw atau dibawa oleh wahyu Allah Ta’ala.
Selanjutnya politik bisa dimaknai secara lebih luas sebagai kepedulian terhadap berbagai dinamika dan persoalan umat. Hasan Al Banna menyebutkan politik adalah “hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat”. Yang dimaksud dengan internal adalah “mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritisi jika mereka melakukan kekeliruan”.
Sedangkan sisi eksternal politik dalam wacana Al Banna adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, menghantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya”. Karena persepsi semacam inilah Al Banna dengan tegas mengatakan, “Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsa”.
Dari berbagai pengertian tersebut dipahami bahwa cakupan aktivitas politik itu luas. Sejak dari aktivitas individual yang memproses perubahan, sampai aktivitas kolektif dalam partai politik atau dalam urusan pemerintahan. Keseluruhannya masuk wilayah pengertian politik. Dengan pengertian seperti ini, tampak bahwa siyasah termasuk salah satu tugas kerasulan yang penting, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (Al Hadid: 25).
Sejarah mencatat bahwa usia dunia politik adalah seusia kehidupan manusia. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu, manusia sudah mengenal system pemerintahan, seperti zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim*.
Politik Islam dalam sejarahnya pernah menjadi mercusuar dunia, melampaui dua peradaban besar ketika itu, yakni Romawi dan Persia. Namun, hukum sejarah seperti diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya berlaku, bahwa sejarah manusia adalah sejarah jatuh bangunnya kekuasaan (pemerintahan) atau dominasi. Ini pula yang dialami Islam.
Abad ini disebut-sebut, misalnya oleh John L Esposito, sebagai abad kebangkitan Islam (revivalisme Islam), dimana Islam sebagai kekuatan politik dan kultural di berbagai belahan dunia, baik itu di dunia Islam sendiri maupun di dunia non Islam, tengah mengalami intensitas peningkatan cukup signifikan, yang tercirikan dengan makin tumbuh suburnya gerakan-gerakan Islam, dari yang berkarakter moderat hingga radikal. Dari yang radikal lunak (soft) hingga radikal yang keras (hard), yang mengambil jalan kekerasan.
Substansi dari semua gerakan itu adalah spirit memposisikan (menegaskan identitas) dan bagaimana memproyeksikan Islam di lingkungan dunia yang saat ini telah mengalami perubahan begitu cepat dan drastis, yang ditandai dengan kemajuan-kemajuan terutama di bidang teknologi (modernisasi) hampir di semua sisi kehidupan. Dengan kata lain, baik itu gerakan yang moderat maupun radikal, sesungguhnya membawa semangat revivalisme Islam.
Menurut Esposito dalam bukunya, Islam: The Straight Path (1988), meski ada perbedaan-perbedaan khas dalam hal interpretasi, kerangka ideologis umum revivalisme Islam mencakup tujuh keyakinan.
  • Pertama, Islam adalah pegangan hidup yang lengkap dan total. Agama integral dengan politik, hukum, dan masyarakat.
  • Kedua, kegagalan masyarakat-masyarakat Muslim disebabkan oleh penyimpangan mereka dari jalan lurus Islam dan mengikuti jalan sekuler Barat, dengan ideologi dan nilai-nilai yang sekuler-materialistis.
  • Ketiga, pembaruan masyarakat mensyaratkan kembali pada Islam, sebuah reformasi atau revolusi religio-politik yang mengambil inspirasinya dari Al Quran dan gerakan besar Islam pertama yang dipimpin oleh Nabi Muhammad.
  • Keempat, untuk memulihkan kekuasaan Tuhan dan meresmikan tatanan sosial Islam sejati, hukum-hukum berinspirasi Barat harus digantikan dengan hukum Islam, yang merupakan satu-satunya cetak biru yang bisa diterima bagi masyarakat Muslim.
  • Kelima, meski westernisasi masyarakat dikecam, modernisasi tidak. Ilmu pengetahuan dan teknologi diterima, tapi keduanya harus ditundukkan di bawah akidah dan nilai-nilai Islam, demi menjaga dari westernisasi dan sekulerisasi masyarakat Muslim.
  • Keenam, proses Islamisasi, atau lebih tepatnya, re-Islamisasi, memerlukan organisasi-organisasi atau serikat-serikat Muslim yang berdedikasi dan terlatih, yang dengan contoh dan kegiatan mereka, mengajak orang lain untuk lebih taat dan organisasi orang-orang Muslim yang ingin berjihad melawan korupsi dan ketidakadilan sosial.
  • Ketujuh, Revivalisme Islam menginginkan kembalinya Islam sebagai mercusuar dunia seperti yang pernah dialami di masa lalu, dalam segala bidang, baik itu agama, politik, ekonomi, budaya, bahkan sains dan teknologi. Keinginan ini barangkali terlalu utopis, jika melihat bagaimana dominasi kekuatan dunia saat ini bukan lagi terletak pada persoalan semata-mata politik kekuasaan, yakni bagaimana negara-negara di seluruh dunia bersatu dalam satu pemimpin (khilafah), misalnya, tapi saat ini dominasi itu ada pada kekuatan ekonomi pasar yang bahkan bisa mengalahkan kebijakan sebuah negara.
Adalah penting untuk membuka kembali lembaran sejarah Nabi Muhammad SAW serta mencontoh keteladanannya dalam mengelola kekuasaan dalam menciptakan kebaikan kualitatif maupun kuantitatif. Apalagi bagi umat Islam Muhammad bukan sekadar cermin teladan (uswah hasanah) dalam masalah rohani, melainkan juga contoh ideal seorang pemimpin duniawi.
Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, tidak sebatas urusan agama semata, akan tetapi beliau juga pemimpin sebuah negara yang mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan sistim ketatanegaraan.
Ali Syariati yang menggambarkan sosok, karakter, dan perilaku Nabi dalam tulisannya yang berjudul A Visage of Prophet Muhammad. Diantara sosok Nabi menurut Syariati, Sosok Nabi sebagai pemimpin militer : “”Tidak ada pemimpin militer, sehubungan dengan operasi militernya sendiri, yang mampu melibatkan dirinya dalam perang sebanyak itu, (64 atau 65 kali) dalam sepuluh tahun kepemimpinannya di bidang sosial dan politik,” tutur Syariati.
Namun, Syariati tidak melihat Nabi sebagai pemimpin militer belaka. Ia pun mencatat rincian-rincian lainnya mengenai sosok Nabi yang memperlihatkan kualitas kemanusiaannya yang terpuji.
Tidak dilupakan, misalnya, bahwa sebagai pemimpin yang mampu menandingi bahkan meruntuhkan sejumlah kekaisaran besar pada zamannya, Nabi berkenan menerima seorang wanita yang selama sekitar satu jam mengadukan masalah rumah tangganya. Juga sekali waktu, sepulang berperang, Nabi turun dari kudanya dan menemui seorang buruh kecil yang terkucil. Diciumnya tangan sang buruh yang kasar itu.
Marshal G Hodgson dalam tulisannya yang bertajuk The Venture of Islam, mengungkapkan, “Masyarakat Muhammad terdiri dari kaum Muslim dan non-Muslim dalam berbagai ragam derajat keanggotaan.”
Sejak saat itu, tulis Hodgson, komunitas itu tak lagi sekadar sebuah suku baru yang terdiri dari orang-orang beriman atau bahkan sekedar perkumpulan revolusioner lokal.  ‘’Masyarakatnya terdiri dari berbagai unsur heterogen yang diorganisasi secara lebih baik dibandingkan sistem organisasi masyarakat Makkah, baik secara religius maupun politik,’’ papar Hodgson.
Struktur politik yang dibangun Muhammad, papar Hodgson, merupakan bangunan yang kini dikenal dengan sebutan negara, seperti negara-negara lain yang ada di sekeliling Jazirah Arab, lengkap dengan otoritas tata pemerintahan yang berdasarkan aturan hukum.
Dalam praktek kenegaraan yang dijabarkan oleh nabi adalah membangun negara Madinah dan pemerintahannya, dan dilanjutkan oleh penerus beliau 4 (empat) khalifah yang terkenal (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) yang dikenal dengan panggilan Khulafaurrasyidin Ahmadiyyin (Pemimpin yang cerdas dan mendapat petunjuk). Sejatinya Islam adalah agama yang sempurna termasuk sistim politik dan Ketatanegaraan, maka tidak perlu bagi umat Islam mengimport sistem politik Barat yang sangat kental dengan sekularismenya.
Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai. (HR. Ath-Thabrani)
Referensi :
  1. Negara dan Keadilan Sosial: Krisis Legitimasi Politik Di Era Kapitalisme Global, Ahmad Taufan Damanik.
  2. Sebuah Bahan Perenungan, Cahyadi Takariawan.
  3. Corak Pemikiran Politik Dalam Dunia Islam, Dokumen Sadeli.
  4. Memposisikan Revivalisme Islam, Fajar Kurnianto, Duta Masyarakat.
  5. Nabi Muhammad SAW : Negarawan Teragung Sepanjang Masa, Republika Online.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar